ENDE FLORES
NUSA TENGGARA TIMUR
A. Kabupaten Ende
Ende, nama sebuah kota sekaligus nama kabupaten, yang terletak di pulau Flores bagian tengah. Kota Ende terletak di pesisir pantai selatan Flores, berbatasan langsung dengan Lau Sawu. Ende menyimpan sejuta pesona wisata baik dari gunung, maupun laut. Ende sering dijuluki sebagai Kota Pelajar. Almamater saya tercinta SMAN 1 ENDE, berada tepat di tengah-tengah kota Ende
Berikut ini adalah beberapa keajaiban yang memukau dari Kabupaten Ende :
Aekipa yang terletak di atas bukit Ndona di wilayah Kecamatan Ndona merupakan tempat yang ideal untuk menyaksikan keindahan kota Ende secara utuh. Dari atas bukit, Ende ditampilkan dalam sisi yang lain dengan nuansa yang beda. Sebuah kota dengan pemukiman penduduk yang padat di antara rimbunan pohon kelapa.
Tampak jelas Gunung Meja dan Gunung Ia bagaikan tembok pembatas yang kokoh dan Bandara Haji Hasan Aroeboesman bagaikan sebuah sungai yang membelah kota. Aekipa merupakan sebuah kawasan perbukitan berjarak sekitar 20 km dari Kota Ende yang dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi ini kurang lebih 30 menit karena keadaan topografinya yang banyak tanjakan.
Bung Karno biasa merenung di sebuah lapangan dengan pohon sukun yang besar menaunginya. Tempat ini menghadap Teluk Sawu dengan lautnya yang tenang dan dikelilingi bukit-bukit hijau menyejukkan mata dan hati. Dari perenungannya, Bung Karno menyadari bahwa semangat untuk meraih kemerdekaan tidak bisa berhenti tetapi tak bisa lepas dari kehendak semesta.
Pohon aslinya kini sudah tiada karena tumbang oleh angin. Kini, pohon itu berganti dengan pohon sukun baru yang ditanam sejak 17 Agustus 1981 tepat pukul 9 pagi. Penanamannya melalui upacara dihadiri sekitar 40 orang teman Bung Karno yang pernah mendampinginya di Ende tahun 1934.
Pohon sukun tersebut lokasinya 100 meter dari Rumah Pengasingan Bung Karno. Tepatnya di Lapangan Perse (sekarang dinamakan Lapangan Pancasila). Oleh sebagian masyarakat pohon tersebut dianggap keramat dan lebih dikenal sebagai Pohon Pancasila.
Menurut cerita masyarakat, saat hari panas maka Bung Karno sering duduk berteduh di bawah pohon sukun tersebut sambil memandangi daun sukun yang bergigi lima buah dan bersudut lima pada setiap sisinya. Di bawah pohon itu Bung Karno merenungkan dasar negara Indonesia yang kelak menjadi Pancasila. Pemikiran Bung Karno di Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat itu, Bung Karno menyebut sebagai Lima Butir Mutiara. Tidaklah salah apabila Ende disebut sebagai Rahim Pancasila. Ende telah memberi pengaruh besar bagi Bung Karno, terutama kerukunan hidup antarumat beragama di Ende.
Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila.
B. BUDAYA ENDE
Gerak tari dengan menyentakan kaki pada tanah.
Untuk istilah toja dan wanda sebenarnya sama arti yaitu menari, hanya cara dan fungsinya berbeda dan kata wanda untuk suku Lio berarti Toja. Dari generasi ke generasi para instruktur tari/peñata tari telah banyak menciptakan tarian dianataranya, yaitu:
a. Gawi Naro
Jenis tarian ini berbentuk lingkaran mengelilingi tubu musu dengan cara berpegangan tangan dan menyentakan kaki dalam bentuk dua macam ragam yairu Ngendo dan Rudhu atau ragam mundur dan maju.
b. Tekka Se
Tarian ini bentuknya seperti gawi/naro, hanya berupa gerakan kaki satu ragam dan gerakan putaran lebih cepat dari gawi/naro. Keunikan dari Tekke Se, pada bagian tengah lingkaran dinyalakan dengan bara api atau api unggun, dan tarian ini diadakan pada setiap acara seremonial di wilayah Nangapanda dan sekitarnya
c. Wanda/Toja Pau
Tarian massa penampilan secara perorangan/individual dalam suatu acara, biasanya menari diiringi dengan selendang diiringi musik nggo wani, lamba atau musik feko genda. Biasanya bila penari wanita selesai menari, dia harus memberikan selendang tersebut kepada laki-laki, atau lebih khususnya yaitu ana noő, demikian sebaliknya ana noő memberi selendang kepada ana eda/bele untuk menari.
2. Kerajinan Tenun Ikat Ende
Salah satu tradisi para wanita penenun yang menarik yaitu kebiasaan memakan sirih khususnya saat sepanjang hari mereka bertenun. Jenis-jenis kain tenun yang dihasilkan adalah selendang lebar yang berfungsi sebagai selimut bagi laki-laki dan sarung untuk wanita. Selimut atau selendang juga digunakan sebagai penutup jenasah yang akan dimakamkan. Selain sebagai selimut dan pakaian yang dijual bebas di pasaran, kain tenun juga dipergunakan sebagai perlengkapan upacara adat, sebagai pakaian adat, pakaian upacara dan juga mass kawin.
Beragamnya fungsi dan banyaknya permintaan kain tenun ikat, membawa banyak perubahan dalam proses pembuatannya. Selain digunakan pewarna sintesis, kini benang rayon juga digunakan sebagai bahan baku kain tenun ikat. Meskipun demikian, kain tenun ikat dicelup dengan pewarna alami dan menggunakan bahan baku tradisional yaitu benang dari kapas juga masih ada.
Tenun ikat Ende dibuat dari bahan kapas yang dipilih oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar dan dicelup warna biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias bentuk geometris aneka warna yang cerah dan menyolok.
Hasil tenunan di daerah Ende sedikit bergaya Eropa. Lokasinya yang terletak di daerah pesisir pantai selatan Flores memungkinkan orang-orang Ende pada masa lalu berhubungan dengan orang Eropa. Tenun ikat Ende lebih banyak menggunakan warna cokelat dan merah. Salah satu ragam hias kain tenun Ende yang berbeda dengan kain tenun daerah-daerah lainnya adalah hanya menggunakan satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang dan baru berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang menyerupai tumpal dan diberi hiasan rumbai-rumbai. Jalur pembatas kain-kain tenun Ende pada umumnya tidak hanya di kedua ujung kain, melainkan dapat dibuat di bagian tengah, samping kedua ujung atau pinggir kain.
C. MAKANAN ENDE
Bila singgah di Ende jangan lupa mencicipi ‘alundine’ dan ‘uwi ai ndota’, makanan khas Ende dengan cita rasa nan menggoda.
MEMAKAI bahan baku ubi Nuabosi, alundine dan uwi ai ndota menawarkan cita rasa yang berbeda. Jika ingin berkunjung ke Ende, anda dapat menemukan salah satu restoran lokal persis di simpang lima, Jalan Ahmad Yani, depan gerbang Bandara H. Aroeboesman-Ende. Restoran tersebut menyajikan segala jenis makanan lokal khas Ende dengan cara pengolahan makanan secara tradisional pula.
Bahan baku kedua jenis makanan ini menggunakan ubi Nuabosi. Ubi ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Ende. Jenis ubi yang hanya tumbuh di Flores ini juga dikenal secara nasional. Pengolahan sangat mudah dan sederhana tanpa menggunakan alat dan bahan yang sulit didapat.
Untuk mengolah Alundine dan Uwi Ai Ndota tentu mempersiapkan semua bahan dan alat. Bahan-bahannya adalah ubi Nuabosi, kelapa parut, gula merah atau pisang kepok setengah masak, minyak kelapa dan garam. Alat-alatnya ; wajan, dandang, irus, kain katun bersih tungku api serta tempat sajian. Pengolahan tidak butuh waktu yang lama karena ubi Nuabosi mudah masak.
Cara Memasak Alundine
Tepung dari air ubi tadi ditumbuk halus lalu dicampur dengan kelapa parut. Ditambahkan air sedikit lalu diaduk hingga rata. Nyalakan api kecil di tungku lalu panaskan wajan/kuali. Masukan minyak kelapa sedikit (1 sendok makan) ke wajan, lalu masukan adonan tepung ubi sebesar kepalan tangan. Adonan tadi diratakan tipis dengan menggunakan irus. Masukan sedikit pisang kepok setengah masak yang sudah dicincang atau gula merah di tengah. Lipatlah masakan tadi dari sisi kiri ke kanan atau sebaliknya untuk menutup pisang cincang atau gula merah. Setelah berwarna kecoklatan, lalu angkat dan alundine siap dihidangkan.
Pengolahan alundine bisa juga dengan cara bakar atau panggang. Adonan alundine dibungkus dengan menggunakan daun pisang. Tungku api dipasang para-para besi atau alat sejenis untuk panggang ikan. Alundine dibakar dengan menggunakan bara api yang sedang. Lalu bolak-balikalundine tadi hingga matang. Alundine siap dihidangkan.
Perlu diperhatikan, pengolahan alundine dan uwi ai ndota harus benar-benar memiliki kekhasan lokal sehingga dapat menghasilkan makanan lokal yang sebenarnya. Tidak perlu masak di kompor minyak atau kompor gas sebab akan menghasilkan cita rasa berbeda.
Cara Memasak uwi ai ndota
Dahulu para leluhur biasa mengolah uwi ai ndota dengan cara punga. Punga adalah memasak ubi cincang dengan menggunakan tempurung. Ubi yang sudah dicincang lantas diberi bumbu dengan bumbu-bumbu lokal dan dimasukan dalam tempurung kelapa lalu ditutup dengan daun pisang. Bagian dalam tempurung juga dialasi dengan daun pisang.
Cara memasaknya pun sangat sederhana. Kumpulkan abu dapur panas (tanpa bara api) lalu letakkan tempurung di tengah-tengahnya. Semua sisi tempurung harus dikenakan abu dapur sehingga ubi bisa matang atau masak seluruhnya. Tanda-tanda masak atau matang, dari pori-pori tempurung mengeluarkan uap beraroma. Setelah itu, angkat tempurung lalu ubi siap dihidangkan. Pola seperti itu tidak digunakan lagi karena dipengaruhi perkembangan zaman yang modern, sehingga cara pengolahan uwi ai ndota pun ikut berubah.
Cara Menghidangkan
Untuk lebih menikmati kedua jenis makanan ini sebaiknya makan perpasangan. Misalnya cicipi alundine dengan secangkir kopi atau teh hangat. Alundine lebih cocok berpasangan dengan minuman. Kalau uwi ai ndota lebih cocok dengan kuah ikan asam atau kuah ikan santan atau lebih nikmat dengan rumpa-rampe atau dalam bahasa Ende orang menyebutnya sebagai ngeta.
Ngeta adalah jenis sayur-sayuran yang terdiri dari daun ubi, daun pepaya, bunga pepaya, jantung pisang, dan jenis sayur lainnya, diolah secara bersama-sama. Ngeta ini bisa dikonsumsi dengan jenis makanan apa saja. Kalau ke daerah-daerah pelosok di Ende, masyarakat selalu meyajikanngeta.
Alundine dan uwi ai ndota sebaiknya dikonsumsi saat masih panas, mumpung cita rasa dan aromannya masih terasa. Jika sudah dingin maka rasa dan aromanya pun hilang dengan sendirinya. Makanan lokal dengan cara memasak tradisional akan mengeluarkan aroma dan cita rasa yang alam dan natural, ketimbang makanan jenis lain dengan menggunakan bahan-bahan produk pabrik.
D. CIRI KHAS
Danau Kelimutu dipopularkan seorang warga Belanda bernama Van Such Telen pada tahun 1915. Keindahannya semakin dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan keindahan dan perubahan warna air danau tersebut dalam tulisannya tahun 1929. Untuk mencapai lokasi danau, Anda dapat memulai dari Moni, kota kecil yang merupakan basecamp para backpacker.Pemandangan indah disepanjang jalan menuju lokasi danau sangatlah indah. Danau paling barat bernama Tiwu Ata Mbupu yang berarti ‘danau jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal’. Danau yang berada ditengah disebut danau Tiwu Nuwa Muri Koo Fai atau ‘danau untukjiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal’. Danau yang paling timur disebut Tiwu Ata Polo atau ‘danau untuk jiwa-jiwa untukorang selalu melakukan kejahatan’. Warna ketiga danau tersebut selalu berubah-ubah.
Terdapat 3 (tiga) buah danau yang berlainan warna yang dapat membuat para wisatawan asing maupun lokal terpesona, serta aneka flora yang terdiri dari 140 species dalam bentuk tumbuhan berkayu (pohon perdu) dan 36 jenis tumbuhan herba, ekosistem endemik yaitu Bogonio Kelimutuensis,ekosistem Turuwara (Rhododendron Renschianum), yang bisa ditemui disekitar danau.
Dua jenis ini mengalami musim berbunga antara bulan Mei sampai dengan Agustus, akan memberikan warna merah pada tepian danau, sehingga menambah pesona keindahan danau kelimutu, selain itu juga dapat ditemui bunga abadi (Edelweis) jenis Anaphas Longifolia. Kita juga dapat menjumpai Macaca fascicularis (Raffles, 1821), secara umum juga dikenal dengan nama monyet ekor panjang adalah species yang tersebar luas wilayah tropis Asia tenggara (Eudey,2008). di kategorikan lagi dalam subfamily Cercopithecinae karena mempunyai gigi geraham yang rendah, mempunyai kantung pipi untuk menyimpan makanan dalam jangka waktu yang singkat, dan buah-buahan adalah makanannya .
Sumber : klikdisini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar